Sejarah Bangsa Mesir
Mesir Kuno adalah peradaban kuno di sebelah timur laut benua Afrika, yang berpusat di daerah hilir Sungai Nil, yakni kawasan yang kini menjadi wilayah negara Mesir. Peradaban ini dimulai dengan unifikasi Mesir Hulu dan Hilir sekitar 3150 SM, dan selanjutnya berkembang selama kurang lebih tiga milenium.
https://images.app.goo.gl/c5EkfRaiKsW3M3Tp9
1. Periode Pradinasti
Pada periode pra dan awal dinasti Mesir, iklimnya lebih subur dengan wilayah ditutupi oleh sabana berhutan dan dilalui oleh fauna beragam. Orang Mesir mengandalkan perburuan sebagai mata pencaharian utama dan mendomestikasi berbagai hewan. Suku-suku kecil berkembang menjadi peradaban agraris dan peternakan sekitar 5500 SM. Peradaban awal seperti Badari, Amratia, dan Gerzia menunjukkan perkembangan teknologi dan perdagangan dengan wilayah lain. Di Mesir Selatan, peradaban Naqada memperluas kekuasaannya sepanjang Sungai Nil sekitar 4000 SM, menandai peningkatan kekuasaan dan kekayaan serta pengembangan simbol-simbol tulisan hieroglif Mesir kuno.
2. Periode Dinasti Awal
Manetho, seorang pendeta Mesir pada abad ke-3 SM, mengelompokkan garis keturunan firaun dari Menes hingga masanya menjadi 30 dinasti, sistem yang masih digunakan hingga kini. Meskipun tidak ada catatan kontemporer tentang Menes, ia dipercaya menyatukan kerajaan Mesir Hulu dan Hilir sekitar 3200 SM. Pada Periode Dinasti Awal sekitar 3150 SM, firaun pertama memperkuat kekuasaan mereka dengan mendirikan ibu kota di Memphis. Peningkatan kekayaan dan kekuasaan firaun dilambangkan melalui struktur kultus di Abydos, menegaskan dominasi negara atas tanah dan sumber daya alam, penting bagi pertumbuhan peradaban Mesir kuno.
3. Periode Menengah Pertama Mesir
Kemajuan dalam arsitektur, seni, dan teknologi terjadi pada Kerajaan Lama Mesir, didorong oleh produktivitas pertanian yang meningkat berkat pemerintahan pusat yang efisien. Di bawah pengawasan wazir, pejabat negara mengelola pajak, proyek irigasi, dan sistem keadilan. Surplus ekonomi memungkinkan pembangunan proyek kolosal dan karya seni istimewa, seperti piramida oleh Djoser, Khufu, dan penerus mereka. Munculnya golongan juru tulis dan pejabat berpendidikan menunjukkan kepentingan pemerintah pusat. Namun, pada akhir Kerajaan Lama, praktik feudal mulai mengikis kekuasaan firaun, terutama saat terjadi kekeringan besar, memicu periode kelaparan dan perselisihan yang dikenal sebagai Periode Menengah Pertama Mesir.
4. Periode Menengah Pertama Mesir
Setelah keruntuhan pemerintahan pusat Mesir pada akhir Kerajaan Lama, gubernur-gubernur regional memperoleh kemandirian. Terjadi kelaparan dan perang saudara kecil, tetapi pemimpin lokal memanfaatkan kebebasan baru untuk mengembangkan budaya di provinsi-provinsi. Mereka menguasai sumber daya mereka sendiri dan membangun pemakaman yang lebih besar. Pengrajin provinsi mengadaptasi motif budaya dengan kreativitas baru. Pemimpin lokal bersaing untuk kekuasaan, yang menyebabkan konflik antara dinasti di Herakleopolis dan Thebes. Pada 2055 SM, Thebes di bawah Nebhepetre Mentuhotep II menang, menyatukan kembali negeri dan memulai periode renaisans budaya dan ekonomi sebagai Kerajaan Pertengahan.
5. Kerajaan Pertengahan
Firaun Kerajaan Pertengahan mengembalikan kesejahteraan dan stabilitas negara, memicu kebangkitan seni, sastra, dan proyek monumen. Ibukota dipindahkan ke Itjtawy oleh wazir Amenemhat I, yang memimpin reklamasi tanah dan merebut kembali wilayah emas di Nubia. Masyarakat mengalami pertumbuhan populasi, seni, dan agama, dengan peningkatan ungkapan kesalehan pribadi. Sastra mencerminkan karakter dan tema yang canggih, sementara seni relief mencapai tingkat teknis yang tinggi. Pada akhirnya, kemunduran terjadi di bawah pemerintahan Amenemhat III, dimulai dengan penambangan dan pembangunan ambisius yang membebani ekonomi, dan berujung pada pemerintahan Hyksos yang berasal dari Asia.
6. Periode Menengah Kedua dan Hyksos
Sekitar tahun 1650 SM, kekuasaan firaun Kerajaan Pertengahan melemah, memungkinkan imigran Asia di Avaris mengambil alih dan memaksa pemerintah pusat mundur ke Thebes. Hyksos, yang meniru gaya pemerintahan Mesir, menyatukan elemen budaya Mesir dengan budaya Zaman Perunggu Pertengahan. Raja Thebes terjebak antara Hyksos di utara dan Kerajaan Kush di selatan. Setelah hampir 100 tahun stagnansi, Thebes melawan Hyksos selama 30 tahun, dipimpin oleh Seqenenre Tao II, Kamose, dan Ahmose I. Ahmose I mengusir Hyksos, memulai periode Kerajaan Baru dengan fokus pada ekspansi militer dan penegakan kekuasaan di Timur Dekat.
7. Kerajaan Baru
Firaun-firaun Kerajaan Baru membawa kesejahteraan tak tertandingi dengan mengamankan perbatasan, memperkuat hubungan diplomatik, dan melakukan kampanye militer ekspansif ke Suriah dan Nubia. Mereka membangun kuil dan monumen untuk dewa Amun di Karnak, serta memuliakan diri mereka sendiri melalui propaganda dan pembangunan besar. Namun, stabilitas terancam ketika Akhenaten memperkenalkan reformasi religius yang radikal. Ramses II, pemimpin militer berani, memperluas wilayah Mesir tetapi dihadapkan pada ancaman dari bangsa asing seperti orang-orang Laut dan Libya. Mesir tetap kuat meskipun mengalami masalah internal seperti korupsi dan kerusuhan, hingga Periode Menengah Ketiga.
8. Periode Menengah Ketiga
Setelah kematian Ramses XI pada tahun 1078 SM, Mesir terbagi antara Smendes di utara, dari Tanis, dan pendeta-pendeta agung Amun di Thebes di selatan. Kepala suku Libya meningkatkan otonomi mereka, dengan Shoshenq I mengambil alih delta dan mendirikan dinasti Bubastite selama 200 tahun. Meskipun berhasil menguasai Mesir selatan, kekuasaan Libya terkikis oleh dinasti saingan dan ancaman dari Kush di selatan. Pada 727 SM, raja Kush, Piye, menyerbu ke utara, menguasai Thebes dan delta. Periode Menengah Ketiga ditandai dengan penurunan martabat Mesir, di mana bangsa Asiria menyerang dan menduduki kota-kota penting seperti Memphis dan Thebes.
9. Periode Akhir
Raja-raja Sais dari dinasti ke-26 memimpin Mesir setelah bangsa Asiria menyerahkan kekuasaan kepada mereka. Psamtik I mengusir Asiria pada tahun 653 SM dengan bantuan tentara bayaran Yunani, memulai periode kebangkitan ekonomi dan budaya. Namun, pada tahun 525 SM, Persia di bawah Cambyses II menaklukkan Mesir, menangkap Psamtik III. Mesir menjadi bagian dari Kekaisaran Persia, berakhirnya dinasti ke-27 pada tahun 402 SM. Dinasti ke-30 berkuasa sampai tahun 343 SM, diikuti oleh singkatnya restorasi kekuasaan Persia. Namun, pada 332 SM, Mesir jatuh ke tangan Alexander yang Agung setelah Mazaces menyerah tanpa perlawanan.
10. Dinasti Ptolemeus
Setelah ditaklukkan oleh Alexander yang Agung pada tahun 332 SM, Mesir mengalami transformasi politik dan budaya di bawah dinasti Ptolemeus. Meskipun berbasis di Iskandariyah, pusat kekuasaan Yunani, penguasa Ptolemaik memelihara tradisi Mesir untuk menjaga kesetiaan rakyat. Mereka mendukung kultus tradisional, membangun kuil dalam gaya Mesir, dan menyatukan dewa-dewa Yunani dan Mesir. Meskipun mencoba memenuhi tuntutan warga, mereka dihadapkan pada tantangan seperti pemberontakan dan persaingan keluarga. Pada akhirnya, Mesir jatuh ke tangan Romawi, dipengaruhi oleh kebutuhan akan gandum dan ketidakstabilan politik di wilayah tersebut.
11. Dominasi Romawi
Setelah menjadi provinsi Romawi pada 30 SM, Mesir menjadi sumber gandum penting bagi Kekaisaran. Romawi menindas pemberontakan dan memperkenalkan pemerintahan yang keras. Namun, tradisi Mesir seperti mumifikasi dan pemujaan dewa-dewa masih bertahan. Seni potret mumi berkembang, tetapi pemerintahan lokal diubah ke gaya Romawi. Kekristenan mulai berkembang di Iskandariyah pada abad pertama, meskipun awalnya dianggap sebagai kultus. Namun, konflik antara Kekristenan dan agama tradisional menyebabkan penindasan terhadap umat Kristen. Di bawah kekaisaran Kristen, kuil-kuil pagan ditutup, dan budaya pagan Mesir mengalami kemunduran, dengan hieroglif yang semakin terlupakan.
Komentar
Posting Komentar